Rabu, 31 Desember 2014

Setelah Sekian Lama

Aku teringat akan semua kata yang terucap saat kita bicara
kita berbicara tentang cerita dimana hanya kita berdua yang tahu
yang sampai saat ini aku tak bisa menghapusnya dari ingatanku

aku berjalan meyusuri taman kota
berhias lampu-lampu temaram dan canda tawa manusia
sejenak langkahku terhenti...
saat ini aku berdiri dijalan yang biasa kita lalui...
terlintas semua kenangan indah yang pernah terukir....

Setelah sekian lama berlalu, aku berdiri disini sekarang
aku begitu merindukan saat-saat itu
meski aku mencoba untuk tidak memikirkannya tapi semua itu selalu terlihat jelas didepan mataku

semua orang terlihat begitu bahagia
tetapi mengapa hanya aku yang merasa sepi dan sendiri?
aku mencoba untuk berpura-pura tidak mengingatmu
tapi perasaan memang tidak bisa dibohohongi
hatiku selalu tertuju padamu

jika aku menunggumu disini,
apakah aku akan bertemu lagi denganmu?
dan bisakah aku memberitahumu tentang apa yang aku rasa sekarang?

aku begitu merindukanmu
ya, aku tidak tahu apapun kecuali dirimu...
menjalani hidup tanpamu bagaikan suatu penyesalan bagiku

ingin segera aku pergi dari sini
tapi entah mengapa kakiku tak mampu bergerak
semua terasa kaku dan beku
memaksa hatiku untuk memanggilmu

Minggu, 28 Desember 2014

Luka

















kamu adalah alasan aku untuk hidup
jauh didalam hatiku, masih tersisa harapan
harapan akan cinta kita yang mengagumkan
yang aku selipkan dalam setiap doaku
dan aku persembahkan untukmu

banyak jalan yang telah aku lalui
semua jejak yang kau tinggalkan telah aku ikuti
namun tak kunjung kutemui dirimu
dan aku yang sedari dulu begitu mencintaimu
sekarang disini sendiri....

api telah membakar cintaku
dan kini yang tersisa hanya luka
luka yang tak akan pernah terlihat
tahukah kamu akan airmata yang telah aku teteskan?

hujan telah membasuh semua cintaku
namun luka itu masih tertinggal
kenapa aku masih merindukanmu?
aku harus mengucapkan selamat tinggal
namun aku tak bisa
karena aku mencintaimu, selamanya...

aku sudah lama menunggu
hanya untuk memberitahumu
bahwa aku begitu merindukanmu
dan aku tak akan bisa untuk melepasmu....

Sabtu, 27 Desember 2014

Kepergianku

akhirnya aku tiba pada suatu waktu
waktu dimana harus berpisah dan meninggalkanmu…
akankah kamu akan menangis untukku?
ataukah aku yang harus menangis untukmu?
kasihku, pejamkanlah kedua matamu
disaat aku pergi meninggalkanmu….
sang kekasih pergi dalam kenangan
mengalahkan cintanya….
selamanya….
dimana cinta tak mungkin bersama….
ingatlah bahwa aku juga mencintaimu…
kenanglah aku disetiap hembusan nafasmu….
disaat kau telah menemukan bahagiamu….
tanpa aku disampingmu….

Puisi Untuk Sahabat

Kalian yang pernah mendekap aku,
Kesinilah….
Mendekat padaku kawan….
Duduk bersama atau bersila
Menikmati secangkir kopi sambil kita bercengkrama
Menyaksikan tunas-tunas yang akan tumbuh
Menikmati semilir angin yang menggoyangkan dedaunan
Seperti lekuk tubuh sang perawan yang sedang dilanda cinta….
memang tak ada hal besar yang akan keluar dari mulut kita
tapi yakinlah, kehangatan yang akan kita rasakan….
bagiku kalian adalah teman mimpi….
bukan sekedar materi….
berjalan bersama….
beriringan….
didalam lebatnya hujan, kita bersama tebarkan senyuman….
begitu banyak masa yang kita jalani
canda…
tawa…
bahkan duka….
semua akan tersirat dalam suatu hal yang biasa kita sebut kenangan
aku menulis ini….
tuk sampaikan terima kasihku pada kalian kawan
selagi masih ada waktu
karena kita tak akan pernah tahu dan pagi selalu menawarkan cerita yang baru….

Cintaku

Jika Tuhan mengijinkan aku untuk sekali saja…
Sekali saja melihatmu lagi….
Meskipun hanya dalam ingatan masa laluku…..
Bahkan dalam rasa sakit itu…..
Ya…. Kamu adalah cintaku
Kamu adalah semua kebahagiaan didunia…..
Dalam diam aku memanggilmu…
Kemarilah cintaku….
Datanglah padaku jika kamu masih menyimpan
Rasa cintamu untukku….
Air mataku menginginkanmu……
Bahkan Jika dunia ini berubah, apakah kamu tahu aku hanya akan mencintaimu?

Tanpa Judul

Akhirnya aku tiba pada suatu persimpangan
Setelah sekian lama menyusuri hari
Dimana tak pernah aku temui
Dimana perbedaan antara pagi, siang, dan malam
Seakan semua sama
Cepat berlalu hingga akhirnya berjelaga
Ingin rasanya aku berteriak dalam kesepianku
Berdamai dalam ketiadaanku
Bertutur dalam bisu
Kini aku bagai malaikat yang terluka
Hanya hidup dengan sebelah sayapnya
Dimana sayap lainnya pupus teriris pedang-pedang mendung
Darah hitam mengucur deras bagai airmata andromeda
Memaksa langkahku untuk menepi
Pada sebuah tambatan yang aku sendiri tak tahu

Alunan Nada Rindu

Waktu terus berdetak
Berdetik
Bagai denting-denting nada piano
Dimana ada sebuah nada yang tak bisa ku ungkap sempurna
Nada yang selalu ku samarkan keberadaannya
Nada rindu
Nada yang menyayat hati
Menjemputku untuk berdansa dengan kegelisahan
Dengan anggun diatas telatar cinta yang agung
Diiringi oleh nada-nada tak berirama
Nada yang mengalun pelan dalam sunyinya malam

Tuhan, Jaga Tanganku

Senja hitam di simpang jalan
menemani anganku
menyiratkan kembang jiwa


Bagai gejolak awan nan runtuh
Bersama kertas dan pena
Bersama luka dan cinta
Aku masih sempat tersenyum lagi
Meski harus kutempuh gurun dan padang ilalang


Namun, ada yang harus ku pikir lagi
Berpikir tuk melepas luka
melepas dendam
berjuang membunuh benci


Dengan goresan tinta
hitam di atas putih
Kucoba tuang semua problema di atas kertas
Dengan garis dan warna yang ku rindu


Tuhan, jagalah tanganku ini
Agar tak lantas berlari
Bersembunyi
Di balik bayang-bayang pekat

Bunga Mawar

Aku diam bukan berarti aku tak ada
Aku ada disudut hitam gelapnya taman
Atau terkadang aku tumbuh dari genangan darah
Dimana angin dan dingin adalah pendamping
Namun merahku akan selalu menandakan akanku
Hijauku meretas makna, mengurai siraman air kata
Wangiku menghanyutkan angan
Membuai melambungkan khayal
Batangku adalah tulang belulangku
Membuat aku berdiri dengan megah dan anggun
Tetapi jangan disalah arti
Keindahanku  tidak mudah dipetik
Duriku akan selalu tegas berdiri
Jika kau bermain api
Karena aku
Akulah si bunga mawar itu

Untukmu Nona

Untukmu nona yang mengusik jiwa
Disini aku berbicara tanpa kata
Tanpa suara
Hanya berbahasa cinta
Ku tulis sebait kata sederhana
Tentang sebuah rasa
Yang hanya terlantun untukmu nona
Sebuah rasa ketakutan akan suatu kehilangan
Bukan ragamu
Tapi cintamu
Seperti ketakutanku akan kehilangan indahnya larik-larik pelangi
Dimana awan hitam akan munutup warnanya
Tak mampu lagi membuka indahnya hari
Hingga akhirnya membuat senja menjadi tak berwarna
Hanya menyisakan elegi yang tenggelam dalam cakrawala

Kasihan Atau Beruntung

Kasihan atau beruntung?
Ketika kulihat bocah-bocah itu lebih akrab dengan teknologi
Bukan alam atau teman sebaya
Bukan tradisi atau budaya

Kasihan atau beruntung?
Ketika Bocah-bocah itu lebih akrab dengan alunan cinta
bukan bulan atau bintang

kasihan atau beruntung?
Ketika bocah-bocah itu melihat drama rumah tangga
Cinta orang dewasa, kemewahan, maupun kekerasan
Bukan persahabatan maupun kesederhanaan

Kasihan atau beruntung?
Ketika bocah-bocah itu memuja komik
Ketimbang dongeng negeri

Kasihan atau beruntung?
Ketika bocah-bocah itu dewasa sebelum waktunya
Ketika mereka tidak hidup dalam dunianya
Hingga akhirnya peran orang tua dipertanyakan

Kasihan atau beruntung?
mereka punya masa tapi tak punya dunia

Kematian

Bagiku kematian adalah janji
Janji yang pasti tertepati
Datang menjemput tanpa permisi
Dengan anggun mengantarku menghadap Illahi
Beristirahat atau tidur terlelap?
Bagiku sama saja
Istilah manis untuk memaknai
Dibalik mengerikannya kata MATI

Aku sadar
Dosa-dosa mengisi ruang hati
Menumpuk dalam kalbu
Bagai tumpukan sampah
Yang siap menguburku hingga jasadku membusuk

Wahai Illahi
Beri aku hari lagi
Untuk menapak dijalanMu
Untuk menyiapkan bekalku di keabadian nanti
Untuk menghadapMu suatu saat nanti

Tugu Muda

Malam, Ketika matahari tak lagi bertahta
Tergantikan oleh kerlip warna lampu kota
Aku duduk diujung taman ini
Menikmati semilir angin malam yang tenang
Perlahan membelai helai rambutku
Mendengar nyayian suara percik air
Yang menambah dinginnya suasana kota malam ini
Seakan semua berbisik rayu padaku
Mengusikku untuk menulis tentang catatan sejarah yang abadi
Yang terlukis tegas dalam tugu ini
Tugu yang anggun tegak berdiri
berdiri sebagai saksi
Saksi atas perjuangan lima hari
Melawan koloni dengan gagah berani
Dimana darah-darah suci membasahi kota ini
Tugu muda
Bagai lilin yang terus berapi
Mengobarkan semangat juang yang tiada henti
Mengajarkanku tentang makna keberanian
Keberanian menghadapi hal yang tanda tanya

Hilangnya Timur

Hari ini emosiku benar-benar memuncak
Mengeras
Keras
Hingga akhirnya membatu
Aku ingin menulis secarik gatra
Menghimpun kata
Kemudian mengalirkan kemuakanku
Kemuakan tentang generasi baru yang tidak bisa lagi memegang tradisi ditengah modernisasi
Para generasi baru mulai kehilangan timurnya
Meninggalkan singgasana timur yang bermartabat
Seperti tukik yang baru melihat banyu biru
Menuju barat yang gemerlap
Hingga akhirnya hanyut dalam dalam belaian mesra hura-hura
Mereka lupa atau sengaja lupa
Entah
Aku pun tak tau jawabnya

Ironi Sebuah Jembatan

Disini aku berdiri
Sebagai saksi atas terjadinya sebuah ironi
Ketika para pemegang amanat hiruk pikuk dengan renovasi
Dibawah sana anak-anak sedang berjudi
Antara hidup atau mati
Menyusuri jembatan pincang
Dengan penuh keanggunan
Hingga akhirnya mesra menyambut masa depan
Tangan kecil nan lemah
Menjelma kuat
Laksana letusan merapi
Kokoh mencengkram awan
Menopang asa dan cita
Semua ini begitu membuatku terkesima
Negeri ini sedang melukis kelabu
Menuntun aku untuk melihatnya dalam satu harmoni
Harmoni yang tertuang dalam lukisan keadilan sosial

Asa Diujung Senja

Hai kau orang yang berjiwa lemah
Bangunlah
Jangan pernah kau menyerah

Aku tahu
Kau kuat bagai batu
Tapi kau malu akui itu

Jangan pernah kau palingkan muka dan tenaga
Asa itu selalu ada
Semuanya tertulis di depan mata
Meski diujung senja

Sebuah Ucapan

Terima kasihku tertuju untukmu sayangku
Kau bangunanku dari pertanyaan-pertanyaan lalu
Ketika hampaku merindu biru
Kau susun warna-warni dikalbu

Aku ingin duduk disini bersamamu sayangku
Disini . . . .
Dibawah naungan bulan merah jambu
Merajut benang asa
Menyulam rona

Ketika dingin dan malam meremuk raga
Bintangpun kau tata
Diatas telatar mahligai cinta
Memerahkan sukma

Wahai kau kekasih hati
Anggaplah ini prasasti
Bukan puisi
Sebagai saksi bisu atas tulusnya hati

Apa Tujuanku

Aku sendiri
Sendiri berteman sepi
Bersendau gurau oleh hingar bingar kesepianku
Angin memelukku dengan dingin
Dengan mesra dia merajang sukmaku
Kemudian kabut perlahan mulai turun
Merangkulku
Kemudian menertawaiku
Pikiranku beku
Keras bagai batu
Lelah aku berpikir
Apa tujuanku dengan hidupku ini?

Seperti Mimpi

Wahai engkau tuan yang aku hormati
Janganlah kau hanya duduk dan menambah pundi
Dibawah sini rakyatmu sedang teruji
Janganlah engkau pura-pura tuli
Bukalah nurani
Mereka rakyat,
Yang harus kau lindungi
Bukan malah kau khianati
Mereka hanya ingin menagih janji
Janji yang harus kau tepati
Jika kau masih tidak peduli
Aku akan terus menghantui
Seperti mimpi

Penyanyi Kecil

Usia tidak membuatku gentar
Hujan badai tidak membuatku buyar
Panas terik pun sudah menjadi sayur yang hambar
Jalanan ini sudah serasa kamar
Satu persatu berhenti dimerah
Ku dekati
Dan aku bernyanyi
Melantunkan nada tralala trilili
Sembari ditemani jemariku yang menari
Lemah gemulai diatas senar gitar kecil ini
Tak kusangkal banyak yang memandangku sebelah mata
Tapi inilah aku apa adanya
Aku tak peduli
Aku masih bisa tegak berdiri
Aku bernyanyi
berharap ada yang berbelas hati
Keping demi keping aku syukuri
Aku bagi
Untuk sebungkus nasi dan masa depanku nanti
karena aku juga manusiawi
yang juga ingin meraih mimpi
Dan memperbaiki hidupku ini

Bukan Anarki

Wahai engkau pemuda-pemudi anak negeri
Aku disini untuk mengapresiasi
Mendukung aksi
Tapi bukan anarki
Aku tahu tujuanmu demi pertiwi
namun jangan kau nodai nilai-nilai demokrasi
Dimana jatidiri bangsa ini tidak boleh mati
Semoga kelak tidak ada lagi anarki didalam demonstrasi
karena akan merugikan diri sendiri dan bangsa ini

Puisiku

Semangat juang ini tidak akan mati
Akan terus tegak berdiri
Melalui berbagai aksi
Demikian juga puisi
Kata-kataku tidak akan mati
Hingga akan berdansa denganmu nanti
Wahai engkau yang telah mati
Sampai akhir kematian tirani
Demi tegaknya NKRI

Tragedi Diatas Tradisi

Entah apa yang terjadi dengan negeri ini
Semuanya telah buta
Penjajah
Penguasa
Ah, itu sama saja
Wahai engkau tuan yang memegang senjata
Sadarkah dengan apa yang kau perbuat?
Atas nama kondusivitas,
Kau bertindak meninggalkan manusiawimu
Tak peduli mereka saudaramu
Kau buru mereka seperti anjing yang kelaparan
Kau hisap darahnya, lalu kau makan bangkainya
Dosa apa yang mereka lakukan padamu?
Hingga kau balas dengan moncong senjatamu
Mereka sudah lelah bersembunyi
Mengeluh diatas bimbang
Tapi semua hanya mengambang
Tradisi pertanian ini menjelma menjadi tragedi yang patut direnungi

Rindu perdamaian

Kini aku tersadar akan lamunku
Janji-janji itu adalah kosong
Hampa

Kedamaian
Persatuan
Kesatuan
Yah, terlalu tinggi aku tuk memimpikannya

Apakah kau dengar rintihan pertiwi ini?
Sayup-sayup melantunkan nada perih
Perih
Perih selaksa tersayat dengan tajamnya pisau kekuasaan

Kisruh
Rusuh
Itulah judul elegi yang tiap hari kian mewangi
Hanya demi para pengembara asing yang datang membawa segenggam kilauan materi,
Pribumi pun terusir dan tersingkir dari tanah leluhur

Sungguh ironis
Bhineka tunggal ika ini serasa mati dengan caranya sendiri

Sajak Untuk TKW

Tangan-tangan halus itu kini menjelma
Kasar
Tiada lagi keindahan
Hanya ada peraduan yang temaram
Senyum mereka pun terhapus oleh sendu yang kelabu


Demi menyambung sisa-sisa kehidupan
Meraka merujuk ke perantauan
Dipenuhi oleh hingar bingar yang semu
Palsu
Berangkat dengan doa dan nyawa
Terkadang mereka pulang hanya tinggal nama


Pelecehan
Kekerasan
ah, itu sudah biasa
Hak-hak mereka terbelenggu kaku didalam peraduan
Terperkosa atas nama aturan-aturan yang mengundang gelak tawa


Perlindunganlah yang mereka cari
Kehangatan didalam sayap-sayap para penguasalah yang mereka nanti